SPIRIT KETIMURAN IBZ

“… tidak semua yang berbau Barat itu dengan sendirinya lebih baik

daripada yang Timur miliki” (Imam Buchori Zainuddin, 2004:15)

Bagi masyarakat seni rupa dan desain ITB, sosok Prof. Imam Buchori Zainuddin bukan nama yang asing. Beliau adalah Guru Besar ITB yang selalu dekat dengan spirit ketimuran. Bahkan sejak tanggal 1 April 2008 resmi ditetapkan ITB sebagai Guru Besar Emeritus.

Tulisan yang menarik tentang spirit ketimuran dari Prof. Imam Buchori Zainuddin (selanjutnya saya singkat IBZ) yang berjudul “Menggali Nilai Di Antara Dua Dunia : Kajian Arsitektural TH Bandung, Karya Maclaine Pont Dan Spiritnya Terhadap Budaya Akademik Di Institut Teknologi Bandung”.

Sebagian besar (karya) mempunyai nilai justru karena memenuhi keinginan pikiran. Menurut John Locke dalam Marx (2004:4), nilai (worth)[1] alamiah sesuatu karya terletak pada kemampuannya memenuhi kebutuhan yang diperlukan atau melayani kemudahan-kemudahan kehidupan manusia. Penilaian yang dilakukan oleh IBZ adalah kesan-kesan tentang ketimuran pada karya Maclaine Pont.

“…saya mempunyai hipotesa arsitek ini sangat menyadari akan adanya sentimen politik, sosial dan budaya yang terjadi di tanah jajahan yang terjadi saat itu. Bila karyanya memperlihatkan spirit ketimuran yang sangat berbeda dengan umumnya karya arsitektur sejamannya terasa adanya kesadaran etis, bahkan pemberontakan bathin dalam diri Pont, seolah-olah dia membuat otokritik bahwa estetika Barat yang diterapkan oleh arsitek Belanda yang bergaya neoklasik (yang mentah-mentah mengetrapkan konsep Barat) terasa menjajah dalam alam/lingkungan budaya ketimuran”. (Zainuddin, 2004:2)

Kemudian dalam Zainuddin (2004:13),”… mendongaknya ujung atap, selain bentuknya berciri Timur juga dimaksudkan sebagai ventilasi”. Lanjutnya, “Dibandingkan dengan bangunan pertamanya yang dibangun di Belanda ketika baru lulus, nampaknya setelah pulang dia lebih mendalami aspek-aspek spiritual arsitektur tradisional (Jawa khususnya)”. Pada halaman 14, IBZ menuliskan, ”Disatu pihak dia membutuhkan sistim konstruksi yang memungkinkan mendapatkan luas ruangan tanpa interupsi tiang, dipihak lain dia ingin mempertahankan bentuk atap ketimuran”.

Di satu sisi ketidaktemuan ciri Timur dan ciri Barat dalam konsep gedung aula Barat/Timur T.H. Bandung, menurut Supadjar (2002:136) bersifat temporal serta kondisional. Artinya kemustahilan pertemuan Timur dan Barat itu tetap akan berlaku sampai kapanpun. Sedangkan menurut Locke (Magnis, 1992) bahwa apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah objek atau sesuatu yang mau kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesannya inderawi pada retina. Oleh sebab itu hipotesa IBZ diatas condong kearah subjektivisme. Subjektivisme, bahwa tidak ada sesuatu yang objektif, jadi kecondongan ke arah relativisme.

Kerelatifan untuk menilai karya ketimuran Maclaine Pont ini terlihat pada halaman 8, IBZ menulis (Zainuddin, 2004:8), “Penilaian dan prinsip moral tidak pernah merupakan buah hasil pemikiran murni, tapi selalu berasal dari individu-individu tertentu yang hidup dalam jaman tertentu dan ditempat yang tertentu, berasal dari keadaan historis... dan penilaian selalu bersifat relatif.

Nilai yang ingin ditekankan oleh IBZ dalam setiap pemikirannya tentang desain, juga sekaligus spirit ketimuran yang ingin dikedepankan pada karya Maclaine Pont (dalam hal ini Aula ITB/T.H Bandung) mempunyai nilai pakai untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Untuk membuatnya diperlukan jenis kegiatan produktif tertentu, yang ditentukan oleh tujuan, cara kerja, sasaran, alat dan hasilnya menjadi “bernilai” karena ada karya lain diluar dirinya. Seperti juga manusia, identitas diri atau nilai dirinya sebagai manusia hanya melalui hubungannya dengan orang lain. Nilai yang terbangun adalah mutlak. Nilai menurut Le Trosne dalam Marx (2004:4) terdiri atas hubungan pertukaran antara satu karya dan satu karya lain, antara sejumlah tertentu suatu karya dan sejumlah tertentu karya lainnya. Obyektivitas sublimnya sebagai nilai (wertgegenstandlichkeit) berbeda dari keberadaannya yang kaku sebagai artefak, Aula ITB/T.H Bandung merupakan obyek nilai (wertding).

Begitu pula dengan penilaian estetis yang dilakukan IBZ pada karya Maclaine Pont (Zainuddin, 2004:15), “… maka seolah-olah estetika aula tersebut telah menyelamatkan muka dan perasaan malu kita kepada dunia”. Dalam kasus penilaian estetis ini, objek (Aula ITB/T.H Bandung) dinilai indah dari perasaan yang muncul pada diri IBZ (gaya dan bentuk arsitektural Aula ITB/T.H Bandung sesuai selera IBZ dan mungkin juga selera masyarakat ITB didalamnya), seperti apa yang didefinisikan oleh Kant dalam Passerin (2003:189), selera sebagai “kemampuan untuk memperkirakan apa yang membuat perasaan kita ada dalam suatu representasi yang universal dan bisa berkomunikasi tanpa mediasi konsep”.

Kehebatan IBZ adalah keyakinannya akan kekuatan imajinasi dan pentingnya ingatan dalam penilaian. Imajinasi dan ingatan memberi sumber pembaruan secara terus menerus. Seperti juga Pont, IBZ adalah seorang desainer yang mengandalkan imajinasi dalam berkarya. Keyakinannya akan kekuatan imajinasi dan pentingnya ingatan dalam penilaian karya Pont bersumber dari pengalaman empiris beliau sebelumnya sehingga IBZ yakin untuk mengatakan :

“…Saya tekankan karena sebagai arsitek, layaknya juga seniman tatkala mencipta imajinasinya selalu menjelajah kemana-mana, terlebih lebih pada Pont yang tidak mungkin mempelajari site secara langsung yang menjadi referensi untuk menggubah adalah alam dalam memori, imajinasi dan obsesi”. (Zainuddin, 2004:13)

Imajinasi memungkinkan kita untuk memandang segala sesuatu menurut perspektif yang tepat dan juga untuk menilai tanpa perlu menggunakan aturan atau universalitas yang sudah ada. Seperti diuraikan Arendt (Passerin, 2003:177), ”Hanya imajinasi yang memungkinkan kita untuk melihat segala sesuatu menurut perspektif yang tepat, untuk membuat jarak bahkan dengan hal-hal yang teramat dekat, sehingga kita bisa memahaminya tanpa bias dan prasangka”.

Menggunakan imajinasi untuk menciptakan kategori baru dan merumuskan penilaian tentang pelbagai peristiwa (yang menghasilkan karya) yang telah terjadi dan akan terjadi masa depan, mengingatkan kita pada takdir manusia yang dibedakan dari makhluk lainnya yaitu kemampuan untuk memulai hal baru. Bahkan sejak awal manusia diciptakan dimana sebelumnya tidak ada siapa pun. Initium ergo ut esset, creatus est homo, antequem nullus fuit. %

DAFTAR PUSTAKA

Magnis Suseno, Franz, 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius

Marx, Karl, 2004. Kapital : Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Jakarta : Hasta Mitra

Passerin d’Entreves, Maurizio, 2003. Filsafat Politik Hannah Arendt, Yogyakarta : Qalam

Supadjar, Damardjati, 2002. Nawang Sari : Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru

Zainuddin, Imam Buchori, 2004. Makalah berjudul “Menggali Nilai Di Antara Dua Dunia : Kajian Arsitektural TH Bandung, Karya Maclain Pont Dan Spiritnya Terhadap Budaya Akademik Di Institut Teknologi Bandung” dalam Workshop Dari THB Hingga ITB 2003, Bandung : Balai Pertemuan Ilmiah Institut Teknologi Bandung, 26-27 Januari 2004


[1] Pada abad ke-17, kata “worth” digunakan untuk nilai pakai dan “value” untuk nilai tukar


About this entry