PEDAGANG KAKI LIMA DAN LAPANGAN KERJA JABAR

Janji-janji calon pasangan terpilih Cagub Jabar tentang penyediaan lapangan kerja merupakan harapan besar bagi seluruh warga Jabar. Harapan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dengan pekerjaan yang ‘baik’ pula. Pekerjaan yang baik diasumsikan tidak hanya pada sektor formal melainkan informal. Seperti yang diharapkan pedagang kecil Usep, “Siapa pun yang terpilih, kami sangat mengharapkan pemimpin yang mampu melindungi orang kecil, khususnya kami pelaku pasar tradisional. Keberpihakan itu salah satunya diwujudkan dengan terbentuknya peraturan daerah yang melindungi pasar tradisional”. (KOMPAS, Suplemen Jabar, 14/04/2008)

Sejak tahun 70an, sektor kerja informal dikenal oleh masyakat sebagai sektor yang kurang mendapat dukungan pemerintah daerah, tidak tercatat secara resmi, dan beroperasi diluar aturan pemerintah daerah, secara otomatis dukungan pemerintah daerah akan diarahkan untuk mengformalisasi sektor ini. Pendekatan ini juga berasumsi bahwa satu-satunya hambatan sektor informal untuk tumbuh adalah sikap negatif dari pemerintah daerah terhadap sektor ini. Oleh karena itu, dukungan pemerintah daerah dianggap bisa menjadi jaminan sukses. Hal ini mengabaikan kompetisi yang kompleks dan hubungan tidak seimbang antara usaha kecil dan usaha besar dan berbagai strategi monopoli untuk menekan kompetisi usaha kecil.

Kegiatan-kegiatan informal adalah sebuah cara untuk melakukan sesuatu yang dicirikan: (1) mudah masuk, (2) bersandar pada sumber daya lokal, (3) usaha milik keluarga, (4) operasi skala kecil, (5) padat karya dan adapted technology, (6) ketrampilan diperoleh diluar sistem formal sekolah, (7) tidak diatur dan pasar kompetitif. Sehingga terdapat kecenderungan untuk menyamakan sektor informal perkotaan dengan ‘urban poor.’ Padahal tidak semua yang bekerja di sektor informal adalah orang miskin demikian juga sebaliknya.

Sektor informal di Jawa Barat yang sering kali dianggap sebagai komunitas marjinal meliputi pedagang kaki lima (PKL), becak, difable (people with different ability), penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, dan pekerja seks komersial (PSK). Mengacu pada definisi sektor informal, berbagai komunitas ini kecuali difabel termasuk dalam sektor informal perkotaan.

Pedagang Kali Lima

Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) memerlukan perubahan lebih mendalam dan lebih mendasar daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, latihan ketrampilan dan bantuan teknis pada perusahaan-perusahaan sektor informal tertentu. Perubahan dalam kaitan-kaitan vertikal masih minim, seperti peraturan pemerintah daerah dan hubungan kelembagaan yang mempengaruhi perusahaan-perusahaan kecil.

Setiap kebijakan harus memperhatikan sistem keseluruhan bukan hanya bagian hirarki yang rendah. Hal ini dikarenakan pedagang kali lima (PKL) di Jawa Barat mempunyai karakteristik. Pertama, aspek ekonomi; PKL merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim. Aksesnya terbuka sehingga mudah dimasuki usaha baru, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, teknologi sederhana/tanpa teknologi, jaringan usaha terbatas, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen yang relatif tradisional. Selain itu, jenis komoditi yang diperdagangkan cenderung komoditi yang tidak tahan lama seperti makanan dan minuman. Kedua, aspek Sosial-budaya; sebagian besar pelaku berpendidikan rendah dan migran (pendatang) dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar. Mereka juga bertempat tinggal di pemukiman kumuh. Ketiga, aspek Lingkungan; kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlah PKL dari tahun ke tahun disinyalir terus mengalami peningkatan akibat tingginya angka urbanisasi dan terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal.

Ketidakberhasilan kebijakan dan program pemerintah daerah Jabar dalam mengembangkan PKL terkait dengan berbagai hal, seperti (1) pendekatan pemerintah daerah yang masih bersifat “supply-side” oriented (pengaturan, penataan, dan bantuan terhadap PKL dilakukan tanpa melakukan komunikasi dan kerjasama dengan PKL sendiri), (2) pelaksanaan kebijakan/program bagi PKL sarat dengan keterlibatan berbagai aparat “pembina,” dan (3) penertiban dan pengendalian PKL lebih didasari pada adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan proyek daripada semangat membangun sektor informal sebagai salah satu basis perekonomian rakyat. Hal konkrit yang bisa dilihat akibat berbagai hal tersebut adalah kesulitan PKL untuk mengakses modal/kredit yang disediakan pemerintah daerah, sedikitnya PKL yang pernah mengikuti pembinaan usaha karena kurangnya sosialisasi pemerintah daerah mengenai program ini, dan penolakan relokasi.

Di Ujung jalan Cikutra – Ahmad Yani seputar Pasar Cicadas Bandung, sejak dulu ramai oleh pedagang-pedagang makanan goreng-gorengan seperti, martabak, combro goring, roti bakar, ayam bakar, dll. Perpindahan lokasi yang dialami para pedagang pasar menyebabkan hilangnya langganan. Kehilangan langganan bagi pedagang dianggap sebagai masalah yang mendasar.

Berdasarkan berbagai ciri, masalah dan kegagalan kebijakan/program pemerintah daerah dalam menangani PKL tersebut, penulis merekomendasikan model pengembangan sektor informal PKL melalui kerjasama PKL, pihak swasta, dan pemerintah daerah. Inisiatif pembentukan organisasi dalam suatu lokasi usaha datang dari PKL sendiri. Pemberian modal dari pihak swasta dan/atau pemerintah daerah bisa dilakukan melalui organisasi PKL (koperasi, kelompok dagang, dsb) atau secara terpisah kepada PKL yang tidak bergabung ke dalam wadah ini. Kemudian melalui kebijakan PEMDA memberikan perlindungan, pembinaan, dan bimbingan kepada setiap PKL (anggota maupun non-anggota).

Kebijakan Pemerintah Daerah

Kebijakan yang kondusif menjadi dasar utama agar model pengembangan sektor informal PKL bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Penulis membagi dua level kebijakan yaitu di tingkat makro dan mikro. Kebijakan makro dapat berupa pengakuan dan perlindungan PEMDA terhadap keberadaan sektor ini diperkotaan. Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah merubah iklim kebijakan pemerintah daerah dari yang bersifat elitis menjadi non-elitis kerakyatan. Kebijakan non-elitis dapat diwujudkan dengan dimantapkannya aspek hukum perlindungan bagi keberadaan PKL, perbaikan kelembagaan dan administrasi ke arah non-birokratis dan mempermudah akses PKL terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Di tingkat mikro diperlukan upaya untuk mengkaitkan produktivitas dan tingkat pendapatan usaha PKL. Cara yang dapat ditempuh: (1) peningkatan efisensi ekonomi dari usaha PKL, (2) peningkatan produksi usaha dagang, (3) meningkatkan usaha PKL yang kurang potensial menjadi usaha yang lebih ekonomis potensial.

Perkembangan sektor informal perkotaan tidak terlepas dari tingginya arus migrasi desa-kota dan terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal terutama bagi penduduk yang berpendidikan, berketrampilan rendah, dan berusia non-produktif.


About this entry